Minggu, 22 Juni 2014

Tidak Ada yang Tahu



Aku masih berdiri di depan rumahku. Jam dinding rumah sudah menunjukkan angka setengah tujuh. Kulihat di luar titik hujan masih menggerutu. Ah, aku tak peduli. Meskipun hujan tetap kujalani sekolah hari ini.
Sesampainya di kelas, kudapati rambut dan bajuku basah. Yup, ini akibat aku yang tidak suka menggunakan jas hujan atau payung. Menurutku terguyur air hujan itu menyenangkan. Aku pun melepas ikatan rambutku. Aku menggelengkan kepalaku hingga benang-benang rambutku terurai. Aku pun melangkah dan duduk dibangkuku. Aku melihat Rangga, teman sebangkuku, ada di belakang bersama teman-teman yang lain. Tak lama kemudian, ‘Teet..teet..teeet…’, bel tanda kelas dimulai pun berbunyi. Aku membenahi posisi dudukku.
“Selamat pagi..!” sapa Rangga kepadaku. Ia segera duduk di sampingku.
“Selamat pagi juga..!” balasku singkat dan tersenyum padanya.
“Emm, bagaimana dengan PR hari ini?” tanyaku memulai pembicaraan karena memang tidak ada lagi topik pembicaraan yang bisa terpikirkan olehku saat itu.
“Beres..” jawabnya mantap sambil mengibaskan  kedua tangannya.
Aku pun tersenyum. Lucu melihat ekspresinya. Rangga adalah temanku selama satu bulan terakhir. Kami duduk sebangku karena tidak ada lagi yang kosong saat aku baru pindah ke sekolah ini. Aku juga baru tahu tentang Rangga yang ternyata termasuk cowok incaran para cewek. Tapi Rangga juga bisa dikatakan siswa “The most wanted” bagi para guru karena tingkahnya yang sering melanggar peraturan sekolah. Kadang-kadang ada beberapa teman menanyakan padaku kenapa aku bisa betah duduk dengan pembuat onar seperti Rangga. Dan seperti biasa, aku hanya tersenyum.
Pelajaran pertama pun dimulai. Bu Wiwin, guru Kimia kami, masuk dengan langkah pasti. Untuk pemanasan memulai pelajaran, Rangga ditunjuk untuk mengerjakan pembahasan PR kali ini.
“Seperti biasa..” ujarku menggodanya.
Rangga hanya tersenyum. Rangga cukup ahli di pelajaran Kimia. Dan seperti dapat membaca pikirannya, Rangga tampak ingin membuat semua siswa di kelas terpukau dengan jawabannya. Rangga maju dan menulis di papan tulis.
Rangga cukup lama menghadap papan tulis. Entah apa yang ditulisnya. Rumus-rumus Kimia yang aneh tergores tak beraturan di sana. Yah, meskipun ia pandai tapi tulisannya sangat tidak mudah dibaca. Dengan sekejap, papan tulis telah penuh dengan coretan Rangga yang lebih mirip sandi rumput menurutku.
Selesai menulis, Rangga pun duduk. Bu Wiwin bangkit kemudian memandang papan tulis dengan agak berpikir. Beliau mengernyitkan dahi dan mencoba membaca sandi rumput karya Rangga. Belum selesai memahami tulisan Rangga, tiba-tiba  
‘Tok..tok..tok..’ terdengar suara ketokan pintu. Ternyata kepala sekolah ingin berbicara dengan Bu Wiwin. Setelah berbincang sebentar,
“Anak-anak, Ibu tinggal sebentar ya.. kalian kerjakan soal halaman 52 sampai 54 hingga Ibu kembali..” Bu Wiwin segera meninggalkan kelas.
Belum sempat kelas membubarkan diri, Bu Wiwin muncul kembali di balik pintu,
“Ingat, jangan rame..!!” perintah beliau.
“Iya Bu..” jawab kami kompak.
Aku pun tersenyum. Mereka terlihat sangat konyol. Aku melanjutkan belajarku. Pindah sekolah membuatku agak kaku.
 “Lagi ngerjain apa sih?” tanya Rangga.
“Oh, ngerjakan soal halaman 52.” Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.  
“Wah, rajin amat. Umm, ngomong-ngomong tumben rambutmu nggak diiket?” tanyanya minta perhatian.
Aku menoleh dan tersenyum padanya. Setelahnya kulanjutkan mengerjakan soal.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?” ujarnya ingin lebih diperhatikan.
Aku menoleh dan mengernyitkan dahi. “Kamu juga sering senyum-senyum sendiri dan aku nggak pernah nanya.”
Dia tersenyum. Dia berhasil memancingku bicara.
“Tuh kan..” aku menunjuk bibirnya yang tengah tersenyum.
Dia terlihat senang, dan..
“Rangga..” suara selembut sutra memanggil nama Rangga. Arah suara itu dari samping bangku Rangga. Terlihat Dinda dengan malu-malu dan menunduk. Ia menggenggam sekotak coklat yang dihias indah dan manis ditujukan kepada Rangga.
“Apa an nih?” Tanya Rangga spontan dan seraya menolak.
“Ehm.. Rangga. Dinda cuma mau ngomong kalo sebenernya dari dulu Dinda..” belum selesai Dinda mengungkapkan perasaannya, teman-teman yang lain berteriak..
“Terima.. terima.. terima..” sorak-sorai teman-teman sekelas mulai membahana. Semua tampak bersemangat. Aku pun ingin larut dalam keceriaan itu. Aku ikut bersorak.
“Dinda suka sama Rangga..” akhirnya Dinda mengungkapkan rasa sukanya pada Rangga.
“Cieee, terima aja bro..” seru Agus.
“Wih, Rangga deg-deg an..” sahut Anang.
Semua pun tertawa riang tak terkecuali aku. Rangga diam. Ia menoleh ke arahku tapi aku tak menghiraukannya. Aku hanya ingin membaur dengan teman-teman lain. Mencairkan sikap kakuku selama ini. Rangga tampak marah kemudian,
“Maaf ya..” jawab Rangga dingin. Ia pun keluar kelas.
Kelas kembali terkendali. Teman-temanku mulai mengerjakan tugas dari Bu Wiwin. Tapi tetap saja ada beberapa orang yang bermain-main. Rangga masuk kelas dan langsung bergabung bersama anak laki-laki yang lain di bangku paling belakang. Ia memainkan gitar dan mereka pun mulai bernyanyi. Aku tidak tahu kenapa tapi aku merasa bersalah pada Rangga.
Hingga pulang sekolah Rangga pun tampak masih marah. Tak ada kata-kata yang terucap diantara kami setelah kejadian itu. Aku hanya terdiam.
Di luar hujan mulai lebih reda tapi namun tidak dalam kehidupan hatiku. Beribu pertanyaan menghujan deras di benakku. Apa aku telah berbuat salah? Apa kesalahanku? Mengapa ia marah padaku? Mengapa ia jadi berbeda? Kenapa dia? Apa aku harus minta maaf? Tapi dalam hal apa? Mengapa aku harus minta maaf? Untuk apa? 


Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghujan dalam pikiranku. Entahlah, kurasa tak ada seorang pun yang mampu menjawabnya kecuali dia, Rangga.  


*Cerpen ini sengaja kutulis  untuk dimuat di majalah sekolah waktu SMP kelas 2 (waktu itu aku di kelas VIII-1). Versi aslinya lebih pendek dari ini namun inti ceritanya sama. Nama tokoh utamanya pun tetap, Rangga. Kenapa namanya Rangga? Terinspirasi dari nama tokoh utama film “Ada Apa dengan Cinta?”.
Aku masih ingat waktu itu aku sempat sebel sama temanku yang jadi tim redaksi. Aku sengaja tidak menuliskan nama lengkapku di karyaku ini, hanya inisial. Eh, dia malah menulis lengkap nama beserta kelasku. Tapi ada hikmahnya sih. Guru bahasa Indonesiaku, Bu Rahayu, membaca karyaku ini dan menyarankan agar aku mengirim cerpen ke media masa. Saran beliau kuikuti. Tapi hingga saat ini, tidak ada satu pun cerpenku yang berhasil dimuat di surat kabar.
Sempat aku menulis opini ringan di harian Kompas dan dimuat. Masih satu opini ringan yang bertengger di sana dan menyematkan namaku. Bangga?? Sangat. Bahkan aku ingat tanggal terbitnya, Selasa, 10 Januari 2012. Dan aku berdoa semoga itu adalah awal dari tulisan-tulisanku selanjutnya. Amin. ^^










Tidak ada komentar:

Posting Komentar