Aku masih
berdiri di depan rumahku. Jam dinding rumah sudah menunjukkan angka setengah
tujuh. Kulihat di luar titik hujan masih menggerutu. Ah, aku tak peduli.
Meskipun hujan tetap kujalani sekolah hari ini.
Sesampainya di
kelas, kudapati rambut dan bajuku basah. Yup, ini akibat aku yang tidak suka
menggunakan jas hujan atau payung. Menurutku terguyur air hujan itu
menyenangkan. Aku pun melepas ikatan rambutku. Aku menggelengkan kepalaku
hingga benang-benang rambutku terurai. Aku pun melangkah dan duduk dibangkuku.
Aku melihat Rangga, teman sebangkuku, ada di belakang bersama teman-teman yang
lain. Tak lama kemudian, ‘Teet..teet..teeet…’, bel tanda kelas dimulai pun
berbunyi. Aku membenahi posisi dudukku.
“Selamat
pagi..!” sapa Rangga kepadaku. Ia segera duduk di sampingku.
“Selamat pagi
juga..!” balasku singkat dan tersenyum padanya.
“Emm,
bagaimana dengan PR hari ini?” tanyaku memulai pembicaraan karena memang tidak
ada lagi topik pembicaraan yang bisa terpikirkan olehku saat itu.
“Beres..”
jawabnya mantap sambil mengibaskan kedua
tangannya.
Aku pun
tersenyum. Lucu melihat ekspresinya. Rangga adalah temanku selama satu bulan
terakhir. Kami duduk sebangku karena tidak ada lagi yang kosong saat aku baru
pindah ke sekolah ini. Aku juga baru tahu tentang Rangga yang ternyata termasuk
cowok incaran para cewek. Tapi Rangga juga bisa dikatakan siswa “The most wanted” bagi para guru karena
tingkahnya yang sering melanggar peraturan sekolah. Kadang-kadang ada beberapa
teman menanyakan padaku kenapa aku bisa betah duduk dengan pembuat onar seperti
Rangga. Dan seperti biasa, aku hanya tersenyum.
Pelajaran
pertama pun dimulai. Bu Wiwin, guru Kimia kami, masuk dengan langkah pasti.
Untuk pemanasan memulai pelajaran, Rangga ditunjuk untuk mengerjakan pembahasan
PR kali ini.
“Seperti biasa..”
ujarku menggodanya.
Rangga hanya
tersenyum. Rangga cukup ahli di pelajaran Kimia. Dan seperti dapat membaca
pikirannya, Rangga tampak ingin membuat semua siswa di kelas terpukau dengan jawabannya.
Rangga maju dan menulis di papan tulis.
Rangga cukup
lama menghadap papan tulis. Entah apa yang ditulisnya. Rumus-rumus Kimia yang
aneh tergores tak beraturan di sana. Yah, meskipun ia pandai tapi tulisannya
sangat tidak mudah dibaca. Dengan sekejap, papan tulis telah penuh dengan
coretan Rangga yang lebih mirip sandi rumput menurutku.
Selesai
menulis, Rangga pun duduk. Bu Wiwin bangkit kemudian memandang papan tulis
dengan agak berpikir. Beliau mengernyitkan dahi dan mencoba membaca sandi rumput
karya Rangga. Belum selesai memahami tulisan Rangga, tiba-tiba
‘Tok..tok..tok..’
terdengar suara ketokan pintu. Ternyata kepala sekolah ingin berbicara dengan Bu
Wiwin. Setelah berbincang sebentar,
“Anak-anak,
Ibu tinggal sebentar ya.. kalian kerjakan soal halaman 52 sampai 54 hingga Ibu
kembali..” Bu Wiwin segera meninggalkan kelas.
Belum sempat
kelas membubarkan diri, Bu Wiwin muncul kembali di balik pintu,
“Ingat, jangan
rame..!!” perintah beliau.
“Iya Bu..”
jawab kami kompak.
Aku pun
tersenyum. Mereka terlihat sangat konyol. Aku melanjutkan belajarku. Pindah
sekolah membuatku agak kaku.
“Lagi ngerjain apa sih?” tanya Rangga.
“Oh, ngerjakan
soal halaman 52.” Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
“Wah, rajin
amat. Umm, ngomong-ngomong tumben rambutmu nggak diiket?” tanyanya minta
perhatian.
Aku menoleh
dan tersenyum padanya. Setelahnya kulanjutkan mengerjakan soal.
“Kenapa
senyum-senyum sendiri?” ujarnya ingin lebih diperhatikan.
Aku menoleh
dan mengernyitkan dahi. “Kamu juga sering senyum-senyum sendiri dan aku nggak
pernah nanya.”
Dia tersenyum.
Dia berhasil memancingku bicara.
“Tuh kan..”
aku menunjuk bibirnya yang tengah tersenyum.
Dia terlihat
senang, dan..
“Rangga..”
suara selembut sutra memanggil nama Rangga. Arah suara itu dari samping bangku Rangga.
Terlihat Dinda dengan malu-malu dan menunduk. Ia menggenggam sekotak coklat
yang dihias indah dan manis ditujukan kepada Rangga.
“Apa an nih?”
Tanya Rangga spontan dan seraya menolak.
“Ehm.. Rangga.
Dinda cuma mau ngomong kalo sebenernya dari dulu Dinda..” belum selesai Dinda
mengungkapkan perasaannya, teman-teman yang lain berteriak..
“Terima..
terima.. terima..” sorak-sorai teman-teman sekelas mulai membahana. Semua
tampak bersemangat. Aku pun ingin larut dalam keceriaan itu. Aku ikut bersorak.
“Dinda suka sama
Rangga..” akhirnya Dinda mengungkapkan rasa sukanya pada Rangga.
“Cieee, terima
aja bro..” seru Agus.
“Wih, Rangga
deg-deg an..” sahut Anang.
Semua pun
tertawa riang tak terkecuali aku. Rangga diam. Ia menoleh ke arahku tapi aku
tak menghiraukannya. Aku hanya ingin membaur dengan teman-teman lain.
Mencairkan sikap kakuku selama ini. Rangga tampak marah kemudian,
“Maaf ya..”
jawab Rangga dingin. Ia pun keluar kelas.
Kelas kembali
terkendali. Teman-temanku mulai mengerjakan tugas dari Bu Wiwin. Tapi tetap
saja ada beberapa orang yang bermain-main. Rangga masuk kelas dan langsung
bergabung bersama anak laki-laki yang lain di bangku paling belakang. Ia
memainkan gitar dan mereka pun mulai bernyanyi. Aku tidak tahu kenapa tapi aku
merasa bersalah pada Rangga.
Hingga pulang
sekolah Rangga pun tampak masih marah. Tak ada kata-kata yang terucap diantara
kami setelah kejadian itu. Aku hanya terdiam.
Di luar hujan
mulai lebih reda tapi namun tidak dalam kehidupan hatiku. Beribu pertanyaan
menghujan deras di benakku. Apa aku telah berbuat salah? Apa kesalahanku?
Mengapa ia marah padaku? Mengapa ia jadi berbeda? Kenapa dia? Apa aku harus
minta maaf? Tapi dalam hal apa? Mengapa aku harus minta maaf? Untuk apa?
Pertanyaan-pertanyaan
itu terus menghujan dalam pikiranku. Entahlah, kurasa tak ada seorang pun yang
mampu menjawabnya kecuali dia, Rangga.
*Cerpen ini sengaja kutulis untuk
dimuat di majalah sekolah waktu SMP kelas 2 (waktu itu aku di kelas VIII-1). Versi
aslinya lebih pendek dari ini namun inti ceritanya sama. Nama tokoh utamanya
pun tetap, Rangga. Kenapa namanya Rangga? Terinspirasi dari nama tokoh utama
film “Ada Apa dengan Cinta?”.
Aku masih ingat waktu itu aku sempat sebel sama temanku yang jadi tim
redaksi. Aku sengaja tidak menuliskan nama lengkapku di karyaku ini, hanya
inisial. Eh, dia malah menulis lengkap nama beserta kelasku. Tapi ada hikmahnya
sih. Guru bahasa Indonesiaku, Bu Rahayu, membaca karyaku ini dan menyarankan
agar aku mengirim cerpen ke media masa. Saran beliau kuikuti. Tapi hingga saat
ini, tidak ada satu pun cerpenku yang berhasil dimuat di surat kabar.
Sempat aku menulis opini ringan di harian Kompas dan dimuat. Masih satu
opini ringan yang bertengger di sana dan menyematkan namaku. Bangga?? Sangat. Bahkan
aku ingat tanggal terbitnya, Selasa, 10 Januari 2012. Dan aku berdoa semoga itu
adalah awal dari tulisan-tulisanku selanjutnya. Amin. ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar