1
Januari 2015. Di penghujung tahun 2014 Pakdheku
meninggal dunia. Tanggal 1 Januari 2015
merupakan peringatan tujuh harinya. Aku dan keluarga mengunjungi rumah
Pakdheku. Kami datang di sore hari tanggal 31 Desember 2014. Tak ada perayaan
malam tahun baru hari itu. Yang ada hanya doa khusus yang dipanjatkan untuk
Pakdheku.
Suara adzan Shubuh
menggema. Menyeruak membuyarkan keheningan malam pekat yang mulai memudar. Aku
terbangun, mandi dan sholat Shubuh di musholla bambu pribadi, sendirian. Tak
lama, anggota keluarga yang lain mulai bangun. Pagi itu salah satu adik
sepupuku berkata,” Mbak, ayo kita bereskan semua yang ada di sini terus pergi.”
“Kemana?” tanyaku
memastikan. Sebenarnya aku ingin pergi ke bukit belakang rumah. Aku pernah ke
sana, sekali. Itu pun ketika aku masih kelas dua sekolah dasar. Tak sampai
puncak pula.
“Bukit belakang
rumah, kolam renang yang baru dibuka, atau kemana aja lah. Yang penting
jalan-jalan. Aku pengen refreshing,” jawabnya menggebu-gebu. Apa di pondok
pesantren sebegitu stressnya hingga adik sepupuku ini ingin sekali keluar
jalan-jalan? Entahlah.
“Ok, kamu dan yang
lain menyapu halaman rumah, aku masak sarapan. Kita pergi ke bukit belakang
rumah,” ucapku mantap.
“Ok,” jawabnya
singkat dan cepat. Sedikit kaget karena aku tak menerima bantahan dari
instruksiku. Kami melaksanakan tugas kami masing-masing. Adik-adikku menyapu
halaman rumah yang cukup luas dan aku memasak.
Waktu menunjukkan
pukul enam pagi saat semua pekerjaan beres dan kami sudah sarapan. Menunggu
beberapa saudara yang masih mandi dan berdandan. Sekitar pukul setengah tujuh
pagi kami memulai perjalanan kami. Hanya beberapa ratus meter ke belakang
rumah.
Kukira jalanan yang
kami lalui tak perlu berbelok-belok, lurus saja. Nyatanya perkiraanku meleset.
Sepanjang jalan tak beraspal ini kami berkali-kali berbelok, bahkan lewat di
gang rumah orang. Dan akhirnya sampailah kami di bukit itu. Bukit yang
mengemban nilai sejarah, keindahan, dan kehidupan. Di sambut pula dengan
kicauan burung dari atas bukit. Seakan memanggil dan menunggu kedatangan kami.
Bukit Kapur
Pertama kali melihat
kawasan ini aku merasa takjub sekaligus miris. Bukit kapur nan indah terlampau
mencengangkan. Namun terlihat dua alat berat pengeruk modern bertengger manis
di sana. Itu yang kumaksud “bukit yang mengemban keindahan dan kehidupan”.
Keindahan musti lenyap karena kehidupan, atau kehidupan yang tak kan berlangsung
demi mempertahankan keindahan.
Hari masih pagi, tak
banyak penambang kapur yang bekerja di ladang kapurnya. Kami asik menikmati
pemandangan di sini. Berkali-kali menggumam “Subhanallah” saking indahnya.
Pemandangan aslinya lebih menakjubkan daripada hasil jepretan kamera.
Tampak Awal Bukit Kapur
Pemandangan di Bukit Kapur
Sebagian Bukit Kapur Sudah Tereksplor
Pemandangan di Bukit Kapur
Pemandangan di atas
sedikit mengingatkanku pada buku sejarah, bab kerajaan di Indonesia. Dimana
tempat prasasti atau benda berharga lainnya ditemukan. Atau seperti pemandangan
penemuan kota peradaban yang hilang. Seperti adanya sisa reruntuhan atau
bangunan yang berbentuk balok. Hampir mirip menurutku.
Gua di Bukit Kapur
Kami tidak berani
masuk. Di mulut gua ini saja terdapat semak belukar yang tinggi pertanda sudah
lama tak pernah dilalui manusia. Konon katanya gua ini merupakan tempat
penyimpanan senjata perang pada masa kedudukan Belanda diteruskan penjajahan
Jepang. Di depan gua ini dulunya terdapat meriam yang cukup besar. Penemuan
granat di sekitar daerah ini juga bukan hal yang asing lagi di masa lalu.
Meriam sudah tidak ada lagi di sini.
Kami hanya menjelajah bukit kapur
bagian selatan. Bentangan bukit kapur ini masih panjang ke utara. Ada yang
bilang kalau di bukit sebelah utara terdapat gua juga. Namun di dalamnya
terdapat kamar-kamar sebagai tempat peristirahatan.
Gua dan barang-barang
peninggalan sejarah tak terawat di sini. Siapa yang menjamin bahwa gua-gua dan
bukit kapur ini akan tetap ada selama eksplorasi kapur masih gencar dilakukan?
Kebutuhan akan kapur dan kehidupan manusia dengan perlahan bisa menghilangkan
peninggalan sejarah.
Tanah di Bukit Kapur
Walaupun bukit kapur
ini terdiri dari kapur namun masih bisa ditumbuhi rerumputan dan pohon. Aku
pernah melihat tambang kapur di layar kaca dan tak kujumpai tanaman yang tumbuh
di sana. Jadi agak kaget ketika di sini kapur dan tumbuhan hidup berdampingan
dengan sangat akurnya.
Pemandangan Dari Atas
Sekilas hasil
jepretan di atas sederhana saja. Namun ini merupakan salah satu tantangan untuk
orang penyuka fotografi. Aku memotret pemandangan ini benar-benar dari atas
bukit yang cukup tinggi dan curam. Agak ngeri.
Tebing Curam, Tantangan Pertama
Ini merupakan awal
dari tantangan yang akan kami hadapi. Kami berenam, perempuan, hanya
bermodalkan tekad dan rasa ingin tahu, memanjat tebing dengan sudut kemiringan
hampir sembilan puluh derajat, tanpa pengalaman dan peralatan keselamatan, mengenakan
rok pula. Satu per satu dari kami akhirnya berhasil melewati tantangan pertama
ini.
Pemandangan Setelah Melewati Tantangan
Pertama
Kapur Seperti Salju yang Belum Meleleh
Sempurna
Kalau dilihat dari
jauh, warna putih kapur yang bermunculan di permukaan tanah mengingatkanku pada
lelehan es di atas gunung yang belum mencair sempurna. Seperti di pegunungan
Alpen mungkin.
Pemandangan Seperti di Pegunungan Alpen
Pemandangan dari Atas
Sebelum mencapai ini,
kami melewati tantangan kedua. Hampir mirip tantangan pertama namun lebih
tinggi.
Terlihat Laut dari Atas Bukit
Sayang kamera tidak
bisa mengabadikan dengan sempurna. Di ujung sana sebenarnya bukan sepenuhnya
langit. Sebagian dari itu adalah laut yang tampak dari kejauhan.
Cawan Alam
Rumah Penduduk
Menuju Puncak Terakhir
Pemandangan Dari Puncak Bukit
Seperti Terumbu Karang di Daratan
Pengambilan Bongkahan Kapur
Aku baru tahu kalau
pengambilan kapur adalah seperti gambar di atas. Aku kira pengambilan kapur itu
dikeruk kapurnya, dihaluskan, baru dicetak. Ternyata tidak. Bongkahan kapur
dicetak langsung dari bukitnya. Mungkin hampir sama dengan pengambilan batu
marmer.
Objek yang Ditemui Saat Akan Pulang
Pemandangan Saat Pulang
Hewan Ternak Di Atas Bukit
Sempat heran juga
bagaimana para kambing ini mencapai puncak bukit? Bukankah jalan menuju ke sini
cukup curam dan menguji adrenalin? Apakah para kambing ini sudah cukup lihai
dalam hal panjat-memanjat? Tebing securam itu? I don’t think so. Dan seperti dugaanku, ada jalan alternatif lain
tanpa harus melalui tantangan-tantangan tadi. Tentu saja. Ada jalan yang lebih
landai. Namun jaraknya akan sangat jauh dari rumah kami. Jadi ingat waktu
rekreasi kelas dua SMA. Sore hari sesampainya di vila, aku melihat puncak bukit
dari vila kami. Iseng aku berkata ingin mencapai bukit itu. Tapi tentu saja
semua hanya menanggapinya sebagai gurauan. Mendaki bukit? Tidak ada dalam planning. Tapi siapa sangka, keesokan
paginya sebagian temanku jalan-jalan ke pasar dekat vila. Aku tidak ikut karena
sibuk memasak sarapan dengan yang lain. Saat teman-temanku tiba di vila, aku
juga ingin jalan-jalan ke pasar. Saat kami sedang berjalan menuju pasar, salah
seorang dari temanku menyarankan agar naik bukit saja. Toh tadi ada sebagian
yang sudah ke pasar, untuk apa ke sana lagi. Ok, kami setuju.
Awalnya kami hanya
naik di lereng pertama. Lama kelamaan kami penasaran dan sampailah di atas
bukit, dengan perjuangan keras tentunya sebab kami tidak melalui jalan yang
semestinya. Saat tiba di atas salah satu dari kami menasehati agar jangan
terlalu capek, dikhawatirkan dehidrasi. Tentu saja tak ada satu pun diantara
kami yang membawa minum, menuju atas bukit ini tidak termasuk dalam planning. Dan saat pulang dari mendaki
bukit itu, kami menemukan jalan lain untuk turun. Ternyata ada turunan
bertangga yang sangat mudah diakses. Namun jarak antara kaki bukit saat naik
dan turun sangat jauh. Jadilah kami berjalan lama, berfoto di tengah jalan, dan
saat tiba di vila air mati.
Ok, kembali ke
perjalanan bukit kapur. Selain jauh, jalan alternatif ini cukup beresiko karena
harus melewati jalan diantara tebing yang bisa sewaktu-waktu roboh. Tidak mau
mengambil resiko, kami pun pulang melalui jalan sebelumnya.
Menuruni Tebing
Jalan yang kami lalui
saat berangkat dan pulang sama, begitu pula dengan tantangannya. Kami akan
turun dari tebing ini. Seperti akan meluncur ke mulut jurang. Apa kalian pikir
kami bercanda? Tentu saja tidak. Kami benar-benar turun, mengenakan rok panjang
yang serba ribet.
Melewati Tantangan
Gerbang Pulang
Batu yang timbul
tinggi ini laksana pintu gerbang atau gapura di kerajaan Indonesia jaman dulu.
Condong dan melengkung ke dalam. Kami beristirahat sebentar di sekitar sini.
Perjalanan Pulang
Kami berada di kaki
bukit kapur. Tingginya bukit ini menandakan bahwa tubuh kami sangat kecil jika
disandingkan dengan ciptaan Allah yang lebih besar.
Jalan Berliku dan Menurun
Setelah melalui jalan
ini, kami tidak serta merta meninggalkan bukit kapur. Karena setelahnya kami
disambut dengan pemandangan kaki bukit kapur yang lain.
Jembatan Batu
Gambar dia atas
seperti jembatan dari batu. Kanan dan kiri jembatan ini merupakan ladang kapur
bagi masyarakat. Mereka mengikis sedikit demi sedikit kapur yang ada di bukit
ini untuk menyambung hidup.
Bongkahan Kapur yang Dieskplorasi
Jalanan Pulang
Perjalanan kami usai.
Tak terasa sudah tiga jam kami menjelajah “bukit di belakang rumah”. Pemandanga
menakjubkan hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah. Namun perjalanan
menuju bukit ini menurutku cukup berbahaya untuk umum mengingat banyaknya
jurang-jurang curam dan tanpa fasilitas serta akses yang aman untuk mencapai
puncaknya.
Setibanya di rumah
bukannya istirahat tapi kami malah disuruh ke pasar untuk berbelanja. Motor
dipakai semua. Meskipun jarak pasar dengan rumah hanya berjarak beberapa ratus
meter saja, tapi dengan kondisi kami yang baru saja menguras tenaga
habis-habisan, perjalanan ke pasar akan sangat memberatkan. Alhamdulillah kami
disambut dokar yang melintas tepat di depan rumah. Kami pun ke pasar menumpang
dokar. Rencana ingin makan bakso rujak di pasar kandas ketika si penjual
menginformasikan bahwa dagangannya sudah tandas. Akhirnya kami membeli martabak
dan dimakan bersama-sama sesampainya di rumah.
Perjalanan selesai,
meskipun hanya sehari (aku hanya diberi libur sehari dari kantor, hanya di
tanggal 1 Januari 2015) tapi terasa sangat menyenangkan. Aku tiba di rumah
tengah malam dan esok paginya harus masuk kerja. Yang bisa dilakukan hanya
mensyukuri yang ada dan menargetkan apa yang ingin dicapai kedepannya.
Bismillah ^^.