Rabu, 22 Januari 2014

Datang dan Pergi

“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang, seperti dunia dalam pasarmalam. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana.”
 Pramoedya Ananta Toer

 

Menyusuri jalan Semarang di Surabaya mempertemukanku dengan buku karya Pramoedya Ananta Toer: Bukan Pasarmalam. Sebelumnya aku tidak pernah mengetahui adanya karya Pramoedya yang satu ini. Entah mengapa aku tertarik untuk memilikinya. Karya Pramoedya, sumbangan Indonesia untuk dunia.
Cerita dalam buku ini terlampau sederhana tapi sangat menggugah. Jika diceritakan secara singkat, buku ini bercerita tentang seorang anak rantauan yang pulang ke kampung halamannya. Kepulangan anak rantauan ini punya alasan, ayahnya sakit keras. Di kehidupan sehari-hari kita akan sering menemui peristiwa ini. Namun di tangan seorang Pramoedya, cerita kepulangan seorang anak menjadi sangat sarat emosi.
Mengambil latar kehidupan masyarakat tak lama setelah Indonesia merdeka. Kemerdekaan, demokrasi yang dielu-elukan nampak masih tragis untuk wong cilik. Yang kaya secara demokrasi dapat memperoleh apapun yang mereka inginkan, sedang yang tak punya tak bisa berbuat apa-apa. Perjuangan anak rantau agar bisa pulang ke kampung halamannya tak semudah yang bisa diceritakan.
Keinginan anak rantau agar lekas bisa pulang tak lain ingin di sisi ayahnya, menebus suatu dosa besar. Surat kasar untuk ayahnya ia tulis ketika masih menjadi tahanan. Ya, tahanan.
Betapa tidak teganya sang anak melihat ayahnya kurus dimakan penyakit. Kenyataan itu menjadi lebih pahit lagi ketika ia tahu sang ayah gugur di lapangan politik. Penyakit itu hanya perantara. Tragis hidup sang ayah, hingga sang ayah pernah mengatakan: “Hidup ini tak ada harganya sama sekali”.
Dalam buku ini dijelaskan dengan gamblang bagaimana perjuangan seseorang menjadi nasionalis. Berat. Semakin berat ketika sang ayah tidak turut serta menikmati kemerdekaan. Kelahiran apa yang telah diperjuangkan. Beliau semakin terpukul ketika Indonesia merdeka. Perjuangan tidak lagi bertarung dengan bangsa lain. Kekejaman bangsa diri memanfaatkan kemerdekaan. Perjuangan kini melawan diri sendiri. Bagaimana kita bersikap.
Kekecewaan mendalam pun beliau rasakan setelah Indonesia merdeka. Kekecewaan itulah yang akhirnya mengantar nyawa sang ayah terbang. Bebas. Perjuangan usai sudah. Setelah 30 tahun. Tubuh yang sangat berpengaruh dan disegani kini tak berdaya.
Menjadi pejuang itu berat. Berat. Aku tahu itu. Tapi apakah “berat” itu membuatku mundur? Tidak kawan. Aku yakin Indonesia masih memiliki harapan. Mungkin dengan perjuangan itu kita tidak mendapat apa-apa, tidak dikenang. Atau mungkin kita akan hidup lebih baik ketika tak memilih jalan untuk berjuang. Namun tokoh sang ayah dalam karya Pramoedya kali ini membuatku sadar, perjuangan harus diteruskan. Hingga nyawa terbang entah kemana… Jika kau bertanya ‘untuk apa’? Sebenarnya kau sendiri tahu jawabannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar