“Sahur.. sahur..” terdengar suara para
pemuda dengan nada “khas” di malam ini. Bemodalkan kentongan, bedug dan
pemukulnya, para pemuda di desa nenekku berkeliling membangunkan orang-orang
untuk sahur. Waktu masih menunjukkan
pukul dua dini hari. Hanya beberapa orang saja yang sudah bangun, terutama para
ibu-ibu yang mempersiapkan makan sahur. Ibu, bibi, budhe, dan nenekku mulai
bangun. Mereka menuju dapur yang terpisah dari rumah, menyiapkan makanan sahur
kali ini.
Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari.
Makanan sudah siap. Para ibu mulai berteriak dari kejauhan untuk membangunkan
orang-orang rumah yang belum bangun. Aku dan sepupuku tidur beralaskan karpet
yang dihampar di ruang tengah. Puluhan dari kami tidur bersamaan di sini.
“Ayo, ayo.. bangun..bangun.. sahur.. ”
aku dan sepupu-sepupuku mendengar teriakan itu dari jauh. Waktunya bangun,
batinku. Aku duduk dengan mata terpejam. Masih ngantuk. Aku
menggoyang-goyangkan badan sepupuku yang tidur disamping kanan kiriku, Lia dan
Neni.
“Ayo.. bangun.. waktunya sahur..”
“He’eh..” jawab Lia sambil mengangguk
dan mata terpejam. Sedang yang lain tidak merespon.
“Hey.. ayo..” aku mengguncang lebih
keras dan mulai membuka mata.
Satu persatu dari mereka akhirnya bangun. Kami berjalan menuju “langgar” kecil di samping dapur. Biasanya makan besar seluruh keluarga diselenggarakan di tempat ini. Tempat yang cukup luas untuk makan sekitar dua puluh orang secara bersamaan.
Satu persatu dari mereka akhirnya bangun. Kami berjalan menuju “langgar” kecil di samping dapur. Biasanya makan besar seluruh keluarga diselenggarakan di tempat ini. Tempat yang cukup luas untuk makan sekitar dua puluh orang secara bersamaan.
“Ayo, cuci muka dulu dan cuci tangan..”
ujar budheku.
Kami pun bergantian melakukannya.
Makanan kali ini enak. Nasi putih, ikan panggang, mie instan dan sayur, krupuk,
dan yang paling enak dari semuanya adalah sambal terasi. Entahlah, tapi sambal
ini sangat enak di lidahku. Porsi yang disediakan cukup jumbo. Maklumlah,
makanan untuk puluhan orang.
“Ayo..ayo.. cepet makan, nanti keburu
imsak..” ujar bibiku sambil mengangkut piring bersih dari dapur menuju
“langgar”. Aku dan sepupu-sepupuku makan dengan lahap. Para ayah pun juga maka
di tempat ini. Tak ketinggalan para pemasak bahkan kucing pun juga ikut
berpesta. Suasana sahur yang menyenangkan.
“Ini udah bangun semua? Ada yang belum
bangun?” tanya ibuku.
“Kayaknya tadi udah bangun semua..”
jawabku.
“Ada, Kak Sa’id belum bangun. Tadi
berkali-kali dibangunkan tetep tidak bangun.” Sambung Ade. Sepupu laki-lakiku.
“Loh, coba dibangunkan lagi.. Yang sudah
sahur langsung bangunkan Kak Sa’id ya..” ujar Bibiku.
“Iya..” jawab kami bersamaan.
Beberapa menit kemudian..
“Aku udah selesai.” Seru Iqbal.
“Iqbal, langsung bangunkan Kak Sa’id
ya.. keburu imsak..” sahut budheku.
“Ok..”
Sesampainya di tempat Kak Sa’id.
“Kak, ayo sahur..” seru Iqbal sambil
mengguncang keras badan Kak Sa’id. Kak Sa’id tak bergerak bagai patung.
“KAK.. AYO BANGUN..” teriak Iqbal.
“APA SIH...” bentak Kak Sa’id dengan
wajah cemberut.
“AYO KAK, BANGUN.. Waktunya SAHUR..”bentak
Iqbal. Kak Sa’id tetap di posisinya.
“KAK…!!!” Teriak Iqbal semakin keras. “NGGAk
SAHUR..???!!” sambungnya jengkel.
“NGGAK..” jawab Kak Sa’id dengan nada
jengkel pula.
“YA SUDAH...” Iqbal meninggalkan Kak
Sa’id dan melapor kalau Kak Sa’id tidak mau dibangunkan dan bilang tidak ikut
sahur ke orang-orang di “langgar”.
Ok, permasalahan beres. Waktunya sholat
shubuh. Kali ini Kak Sa’id baru bangun pukul 5 pagi. Dan dia marah-marah karena
tidak dibangunkan sahur. Badannya yang cukup gemuk membuatnya sangat menyesal
kenapa tidak bisa bangun sahur. Dan dia tidak bisa menyalahkan siapapun kali
ini. Kak Sa’id melanjutkan puasa tanpa sahur. Dia sudah niat dan makan camilan
pada malam harinya.
Waktu berjalan. Kini saatnya berbuka pun
tiba. Kak Sa’id belum terlihat. Dia masih ada urusan dengan teman-temannya.
Kami hanya tertawa saat ingat kejadian sahur tadi. Melihat wajah Iqbal yang
dengan putus ada dan jengkel setelah berusaha membangunkan Kak Sa’id.
Pukul delapan malam, Kak Sa’id baru
muncul. Dengan nada terburu-buru dia bertanya padaku,
“Fah, makanannya masih ada?”
“Ada Kak. Masih banyak lagi.. Sambal
terasinya juga masih banyak..” jawabku menggoda.
“Wah, cocok. Waktunya makan..”
“Emangnya tadi belum berbuka..?” tanyaku
heran.
“Udah, tadi sama temen-temenku. Tapi ini
kan beda. Lagian, aku mau balas dendam gara-gara tadi tadi nggak sahur.”
Jawabnya sambil menuju dapur.
Keluar dari dapur..
“Astaghfirullah Sa’id.. Ngapain makan
pake cobek..??” seru budheku kaget. Melihat Kak Sa’id makan dengan menopang
cobek di tangannya dan memakan makanannya dengan tangan yang lain. cobek besar itu
terisi penuh nasi, lauk, sayur, dan yang paling penting adalah sambal. Wuih,
pedes banget kayaknya.
“Iya budhe.. Aku mau balas dendam gara-gara
tadi tidak sahur..”
“Tapi ya jangan dimakan semua sambelnya
juga..”
“Semuanya udah makan kan budhe? Ini
kumakan semua yaaa…” ujarnya dengan tetap membawa cobek di tangannnya dan
dengan penuh peluh.
“Iya, kalau kuat..” budheku hanya geleng-geleng
kepala dan tertawa.
“Kuat budhe.. Hu ha hu ha..” jawab Kak
Sa’id sambil kepedasan.
Dasar Kak Sa’id. Peristiwa itu telah
lama berlalu. Namun, kehangatan keluarga itu tetap ada hingga saat ini.
Perkumpulan keluarga hanya terjadi di moment ramadhan. Ramadhan, I miss you.
*Kisah
ini based on true story, dengan sedikit perubahan tentunya. Tulisan ini sudah
pernah diikutkan lomba tapi masih belum bisa terlihat keunikannya. Sudahlah,
biar blog ku penuh, publish aaahhh… J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar