Minggu, 22 Juni 2014

Akhirnya Terbalaskan


“Sahur.. sahur..” terdengar suara para pemuda dengan nada “khas” di malam ini. Bemodalkan kentongan, bedug dan pemukulnya, para pemuda di desa nenekku berkeliling membangunkan orang-orang untuk sahur.  Waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari. Hanya beberapa orang saja yang sudah bangun, terutama para ibu-ibu yang mempersiapkan makan sahur. Ibu, bibi, budhe, dan nenekku mulai bangun. Mereka menuju dapur yang terpisah dari rumah, menyiapkan makanan sahur kali ini.
Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Makanan sudah siap. Para ibu mulai berteriak dari kejauhan untuk membangunkan orang-orang rumah yang belum bangun. Aku dan sepupuku tidur beralaskan karpet yang dihampar di ruang tengah. Puluhan dari kami tidur bersamaan di sini.
“Ayo, ayo.. bangun..bangun.. sahur.. ” aku dan sepupu-sepupuku mendengar teriakan itu dari jauh. Waktunya bangun, batinku. Aku duduk dengan mata terpejam. Masih ngantuk. Aku menggoyang-goyangkan badan sepupuku yang tidur disamping kanan kiriku, Lia dan Neni.
“Ayo.. bangun.. waktunya sahur..”
“He’eh..” jawab Lia sambil mengangguk dan mata terpejam. Sedang yang lain tidak merespon.
“Hey.. ayo..” aku mengguncang lebih keras dan mulai membuka mata.
Satu persatu dari mereka akhirnya bangun. Kami berjalan menuju “langgar” kecil di samping dapur. Biasanya makan besar seluruh keluarga diselenggarakan di tempat ini. Tempat yang cukup luas untuk makan sekitar dua puluh orang secara bersamaan.
“Ayo, cuci muka dulu dan cuci tangan..” ujar budheku.
Kami pun bergantian melakukannya. Makanan kali ini enak. Nasi putih, ikan panggang, mie instan dan sayur, krupuk, dan yang paling enak dari semuanya adalah sambal terasi. Entahlah, tapi sambal ini sangat enak di lidahku. Porsi yang disediakan cukup jumbo. Maklumlah, makanan untuk puluhan orang.
“Ayo..ayo.. cepet makan, nanti keburu imsak..” ujar bibiku sambil mengangkut piring bersih dari dapur menuju “langgar”. Aku dan sepupu-sepupuku makan dengan lahap. Para ayah pun juga maka di tempat ini. Tak ketinggalan para pemasak bahkan kucing pun juga ikut berpesta. Suasana sahur yang menyenangkan.
“Ini udah bangun semua? Ada yang belum bangun?” tanya ibuku.
“Kayaknya tadi udah bangun semua..” jawabku.
“Ada, Kak Sa’id belum bangun. Tadi berkali-kali dibangunkan tetep tidak bangun.” Sambung Ade. Sepupu laki-lakiku.
“Loh, coba dibangunkan lagi.. Yang sudah sahur langsung bangunkan Kak Sa’id ya..” ujar Bibiku.
“Iya..” jawab kami bersamaan.
Beberapa menit kemudian..
“Aku udah selesai.” Seru Iqbal.
“Iqbal, langsung bangunkan Kak Sa’id ya.. keburu imsak..” sahut budheku.
“Ok..”
Sesampainya di tempat Kak Sa’id.
“Kak, ayo sahur..” seru Iqbal sambil mengguncang keras badan Kak Sa’id. Kak Sa’id tak bergerak bagai patung.
“KAK.. AYO BANGUN..” teriak Iqbal.
“APA SIH...” bentak Kak Sa’id dengan wajah cemberut.
“AYO KAK, BANGUN.. Waktunya SAHUR..”bentak Iqbal. Kak Sa’id tetap di posisinya.
“KAK…!!!” Teriak Iqbal semakin keras. “NGGAk SAHUR..???!!” sambungnya jengkel.
“NGGAK..” jawab Kak Sa’id dengan nada jengkel pula.
“YA SUDAH...” Iqbal meninggalkan Kak Sa’id dan melapor kalau Kak Sa’id tidak mau dibangunkan dan bilang tidak ikut sahur ke orang-orang di “langgar”.
Ok, permasalahan beres. Waktunya sholat shubuh. Kali ini Kak Sa’id baru bangun pukul 5 pagi. Dan dia marah-marah karena tidak dibangunkan sahur. Badannya yang cukup gemuk membuatnya sangat menyesal kenapa tidak bisa bangun sahur. Dan dia tidak bisa menyalahkan siapapun kali ini. Kak Sa’id melanjutkan puasa tanpa sahur. Dia sudah niat dan makan camilan pada malam harinya.
Waktu berjalan. Kini saatnya berbuka pun tiba. Kak Sa’id belum terlihat. Dia masih ada urusan dengan teman-temannya. Kami hanya tertawa saat ingat kejadian sahur tadi. Melihat wajah Iqbal yang dengan putus ada dan jengkel setelah berusaha membangunkan Kak Sa’id.
Pukul delapan malam, Kak Sa’id baru muncul. Dengan nada terburu-buru dia bertanya padaku,
“Fah, makanannya masih ada?”
“Ada Kak. Masih banyak lagi.. Sambal terasinya juga masih banyak..” jawabku menggoda.
“Wah, cocok. Waktunya makan..”
“Emangnya tadi belum berbuka..?” tanyaku heran.
“Udah, tadi sama temen-temenku. Tapi ini kan beda. Lagian, aku mau balas dendam gara-gara tadi tadi nggak sahur.” Jawabnya sambil menuju dapur.
Keluar dari dapur..
“Astaghfirullah Sa’id.. Ngapain makan pake cobek..??” seru budheku kaget. Melihat Kak Sa’id makan dengan menopang cobek di tangannya dan memakan makanannya dengan tangan yang lain. cobek besar itu terisi penuh nasi, lauk, sayur, dan yang paling penting adalah sambal. Wuih, pedes banget kayaknya.
“Iya budhe.. Aku mau balas dendam gara-gara tadi tidak sahur..”
“Tapi ya jangan dimakan semua sambelnya juga..”
“Semuanya udah makan kan budhe? Ini kumakan semua yaaa…” ujarnya dengan tetap membawa cobek di tangannnya dan dengan penuh peluh.
“Iya, kalau kuat..” budheku hanya geleng-geleng kepala dan tertawa.
“Kuat budhe.. Hu ha hu ha..” jawab Kak Sa’id sambil kepedasan.
Dasar Kak Sa’id. Peristiwa itu telah lama berlalu. Namun, kehangatan keluarga itu tetap ada hingga saat ini. Perkumpulan keluarga hanya terjadi di moment ramadhan. Ramadhan, I miss you.

*Kisah ini based on true story, dengan sedikit perubahan tentunya. Tulisan ini sudah pernah diikutkan lomba tapi masih belum bisa terlihat keunikannya. Sudahlah, biar blog ku penuh, publish aaahhh… J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar