Senin, 09 September 2013

Nelayan Indonesia



Melihat siaran televisi tentang #SOShark (save our shark) akhir-akhir ini membuat saya teringat liputan mengenai nelayan di Indonesia di saluran televisi swasta. Sedikit memberikan gambaran nelayan Indonesia hidup sangat sederhana. Sangat ironi jika kita tahu betapa kayanya laut Indonesia. Tapi kenapa nelayannya tidak ikut kaya? Salah satu yang dibahas dalam liputan waktu itu adalah penyebab kurang sejahteranya kehidupan nelayan. Beberapa faktor penyebabnya adalah masalah pengetahuan tentang perikanan, teknologi, dan pemasaran nelayan Indonesia yang masih sangat kurang. 



 Sumber gambar di sini

Dari beberapa orang mungkin akan langsung menjawab, ‘ya iyalah, teknologi itu kan mahal? Butuh investasi besar untuk penerapannya’. Pemikiran ini memang benar, namun tidak dapat sepenuhnya disetujui. Salah satu contoh adalah seorang wirausaha dalam liputan tersebut yang mengatakan bahwa beliau sangat miris melihat nelayan Indonesia. Bahkan beliau turun langsung untuk membantu peningkatan kesejahteraan nelayan.
Salah satu hal yang dilakukan beliau adalah membantu nelayan untuk memasarkan hasil tangkapannya. Ok, membahas masalah tangkapan nelayan pasti tidak asing dengan istilah pengepul. Beliau ini bisa dikatakan sebagai pengepul namun dengan niatan membantu nelayan. Tidak main-main, beliau membeli hasil tangkapan nelayan dengan harga ekspor. Dengan gigih beliau mendatangi nelayan satu per satu dan memberikan penjelasan mengenai keuntungan-keuntungan yang didapat nelayan jika memasok kepada beliau. Tentu saja beliau bersaing dengan para pengepul lain.
Satu kalimat beliau yang masih terngiang hingga saat ini, ‘Saya tidak bisa melakukan ini sendirian, saya perlu bantuan seluruh masyarakat Indonesia.” Kawan, ini bukan permasalahan pribadi tapi butuh kesadaran tiap pribadi dari kita.

#SOShark

#SOShark adalah salah satu campaign yang dilakukan oleh WWF Indonesia untuk menyelamatkan kehidupan hiu. Informasi ini saya dapatkan di salah satu stasiun TV swasta beberapa pekan lalu. Berdasarkan data yang ada, Indonesia merupakan negara dengan penangkapan hiu terbesar di DUNIA. Akan tetapi konsumsi terbesar hiu di dunia saat ini bukanlah Indonesia melainkan China. Namun tetap saja negara yang disoroti dalam aksi penyelamatan hiu akhir-akhir ini adalah Indonesia.
Ada fakta unik yang saya dapatkan dalam siaran wawancara dengan WWF saat itu. Data legal mengenai ekspor hiu Indonesia tercatat tidak terlalu besar, konsumsi hiu Indonesia juga masih tergolong sedikit. Lantas kemanakah hasil tangkapan hiu-hiu Indonesia? Yap, kebanyakan hasil penangkapan hiu Indonesia diekspor secara ilegal. Dan perlu diketahui pula bahwa sebagian besar penangkapan hiu di Indonesia dilakukan dengan tidak disengaja. Maksudnya adalah nelayan Indonesia tidak bermaksud menangkap hiu, akan tetapi ikan hiu tanpa sengaja masuk perangkap bersama ikan-ikan yang lain. Hiu pun sekalian diangkat dan dijual.

 sumber gambar di sini

Ikan hiu tidak dijual secara utuh, hanya sirip ikan hiu yang memiliki harga tinggi. Sedangkan daging hiu dijual murah karena rasa daging yang tidak cukup enak untuk dikonsumsi. Konon sirip ikan hiu bisa dijadikan obat beberapa penyakit Bahkan ada rumor memakan sirip ikan hiu dilakukan hanya untuk prestige semata. Sangat tidak adil merusak kelangsungan hidup ikan hiu hanya untuk meninggikan image seseorang.
Mengonsumsi ikan hiu tidak hanya menghentikan kelangsungan ikan hiu, namun juga mematikan kehidupan biota laut lain bahkan kehidupan manusia. Kok bisa? Ketika ikan hiu tidak ada di suatu kawasan laut tertentu, maka predator satu tingkat di bawah hiu akan meningkat. Meningkatnya predator ini tidak diimbangi dengan populasi ikan kecil. Akhirnya predator ini memakan ikan kecil terlalu banyak sehingga ikan kecil habis. Tidak adanya ikan kecil akan berpengaruh terhadap kelangsungan predatornya yang nantinya akan mati pula. Ketika tidak ada kehidupan di laut, maka karang pun rusak dan mati. Di bagian inilah laut dikatakan mati. Sebagai contoh adalah salah satu kawasan (kalau tidak salah di wilayah Amerika) yang dinamakan death zone. Daerah ini adalah wilayah laut yang tidak ada kehidupan di dalamnya. Dan dampak dari keseluruhan rantai makanan ini adalah tentu saja berkurangnya pemenuhan kebutuhan manusia akan ikan.

Selasa, 03 September 2013

Cerita di Kampus Perjuangan

 Diterima di kampus bernama Institut Teknologi Sepuluh Nopember merupakan momen paling mengharukan dalam hidupku hingga saat ini. Tepatnya hari Sabtu pagi, tanggal 1 Agustus 2009 aku dinyatakan diterima di kampus yang cukup bergengsi di wilayah Jawa Timur, bahkan di jurusan yang cukup elit pula. Keputusan ingin menjadi bagian dari kampus yang diisingkat ITS ini bukan sekedar pemikiran saat di bangku SMA namun keinginan ini telah kurencanakan sejak SMP kelas VII. Ya, aku ingin menjadi mahasiswa ITS tak lama setelah lulus SD. Dan Alhamdulillah rencanaku sesuai dengan rencana Allah.

 Sumber Gambar Klik di sini

Terkejut diterima di ITS? Tentu saja. Sebelumnya tak pernah terpikirkan dapat masuk di kampus ini. Masih teringat ketika beberapa orang yang mempertanyakan keinginan dan kemampuanku masuk ITS. Mimpiku terlalu tinggi katanya. Minder? Of Course. Beberapa kali aku mempertimbangkan keputusanku. Dan akhirnya, apa salahnya dicoba?
Hari pertama di ITS, aku dibantu sama teman-teman seperjuangan SMA, Karina Adelia dan Ajeng Fitria, yang juga diterima di kampus ini. Awal-awal masuk kuliah pun ada teman sejurusan yang menawarkan untuk menginap di kosnya. Maklum, kegiatan pengkaderan di ITS seringkali selesai hampir tengah malam.
Di tahun pertama, mahasiswa baru (Maba) tidak diperbolehkan mengikuti organisasi. Pasalnya mendaftar sebagai anggota organisasi harus mendapatkan ijin dari ketua himpunan (kahima) jurusan. Ijin ini hanya bisa didapatkan ketika mahasiswa berhasil melampaui proses pengkaderan sekitar satu tahun pertama. Namun MaBa diperbolehkan mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). UKM ini semacam ekstrakurikuler di SMA. Iseng, aku pun ikut mendaftar UKM bahasa asing. Di sini memperlajari dua bahasa asing, bahasa Inggris dan Jepang.
Awam dengan bahasa Jepang, aku pun ingin mempelajarinya. Di UKM ini aku bertemu dengan orang-orang keren dari berbagai jurusan. Beberapa diantara mereka adalah Mas Mahendra (Fisika) ketua departemen di bahasa Jepang, Mas Galih (teknik mesin) yang ternyata rutin mengikuti dan juara olimpiade fisika nasional serta nilai IPKnya nyaris sempurna, Mas Dimitri (kalo nggak salah jurusan sistem Informasi) ketua UKM bahasa asing yang melanjutkan studi di Taiwan. Bertemu dengan orang-orang keren membuatku senang. Bisa belajar banyak hal dari tipe orang yang berbeda-beda.
Satu hal yang membuatku heran adalah ketika aku ditunjuk sebagai sekretaris UKM bahasa asing di tahun kedua. Aku merasa kontribusiku tidak banyak apalagi dalam penguasaan bahasa asing. Tapi jabatan ini akhirnya tetap harus kujalani dengan banyak belajar karena belum pernah menjadi sekretaris. Dukungan dari teman-teman UKM sangat membantu selama proses pembelajaran ini.
Tahun kedua, aku tidak hanya menjabat sebagai sekretaris UKM bahasa asing atau ITS Foreign Language Society (IFLS). Aku juga aktif berorganisasi di organisasi keislaman tingkat institut atau Jamaah Masjid Manarul Ilmi (JMMI ITS), organisasi keislaman tingkat jurusan yang bernama Masyarakat Studi Islam Ulul Ilmi (MSI UI), serta menjadi staf di kementerian media dan informasi BEM ITS. Mengemban empat organisasi dengan latar belakang dan lingkungan berbeda di waktu yang sama sangat sangat menyenangkan. Kamu bisa belajar banyak hal mulai dari keberagaman orang-orangnya, cara kerja dan cara berkomunikasinya.
Aku kembali diherankan ketika mendapatkan bingkisan dari organisasi keislaman tingkat institut. Aku termasuk staf terbaik katanya. Dibimbing oleh orang-orang keren seperti Mbak Luim dan Mbak Dian serta kerjasama dengan teman-teman seperjuangan di departemen Hubungan Lembaga Eksternal membuatku memperkuat ukhuwah dan ilmu agama. Banyak yang dipelajari di organisasi ini. Yang paling berkesan adalah mengkoordinir dan membantu kegiatan di bulan Ramadhan dan Bakti Sosial. Tapi sekali lagi, aku merasa kontribusiku masih kurang.
Menjadi staf biro usaha dan dana di MSI membuatku sedikit kewalahan. Bayangkan saja, terdapat lima orang staf di biro ini dan aku satu-satunya staf perempuan. Berjalannya waktu, biroku ditambah satu staf perempuan lagi.
Menjadi reporter adalah keinginan sejak SMP kelas VII. Dan profesi ini kudapatkan ketika menjadi staf di Kementerian Media dan Informasi (Medfo) BEM ITS. Tiap staf di Medfo mendapat tugas meliput. Pengalaman pernah bertemu dengan forum penulis seluruh Jawa Timur, kunjungan ke Perusahaan Media di Surabaya, mengadakan seminar kepenulisan popular tingkat nasional, membuat buletin, dan masih banyak lagi.
Senang sekali mendapat bimbingan keren dari Mas Median (teknik informatika) sebagai menteri, Mbak Nila Cynthia D (sistem informasi) sebagai sekmen, Mbak Putri (teknik kimia), Mas Satrio (sistem informasi), Mas Rischan (teknik informatika), Mbak Dhila (teknik industri), Mbak Adiba (arsitektur) dan teman-teman Medfo ‘Mencatat Sejarah dengan Cinta’.. Terima kasih sebelumnya untuk teman seperjuangan Medfo, Icha, Lutfia, Dhila, Ayu, Mukti, Randika, Heri, Febi, Nafis, dan Faiz. Mereka adalah rekan-rekan keren yang membuatku belajar banyak hal. Belajar beradaptasi, berorganisasi, berkomunikasi, kerja dalam tim, dan pelajaran-pelajaran berarti lainnya.
Di tahun ketiga, aku ingin mengamalkan ilmu yang telah kupelajari. Ada dua cara yang bisa kulakukan. Pertama adalah menjadi asisten di lab jurusan dan yang kedua adalah menjadi pengajar privat. Namun cara pertama yang kupilih. Setelah menjalani proses seleksi asisten lab sistem manufaktur sekitar dua bulan, akhirnya aku diterima beserta lima teman yang lain. Asisten lab sistem manufaktur batch pertama angkatanku ada Amik #98, Vita #99, Hendri #100, Chris #101, Aku #102, dan Okky #103.
Image asisten lab sistem manufaktur yang tegas, cerdas, keras, dan disiplin awalnya sangat terasa. Butuh beberapa bulan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan baru ini. Bekerja di bawah tekanan tidak dapat dihindari. Deadline yang tiba-tiba dengan load kerja yang tidak sedikit membuat kami, asisten baru, sedikit kewalahan. Namun menurutku di sinilah pengalaman paling menarik.
Di sisi lain, asisten lab sistem manufaktur dikenal sangat akrab antar anggotanya. Kondisi yang terlalu banyak tekanan membuat kami lebih sering saling membantu, bertukar pikiran, menghabiskan waktu di luar bersama-sama, intinya bersenang-senang dan bersusah-susah bersama. Dan di tahun ketiga, aku banyak menghabiskan waktuku di kegiatan dalam lab.
Selain menjadi asisten lab, di tahun ketiga aku juga menjabat sebagai asisten sekretaris kementerian komunikasi dan infromasi BEM ITS. Kembali lagi belajar dan beradaptasi dengan orang-orang baru. Menteri Kominfo kali ini adalah Mas Dewa (teknik informatika) dan Mbak Nila (sistem informasi) sebagai sekmen. Di sini kembali bertemu dengan orang-orang keren di bidangnya yakni Mukti (teknik kimia), Ana (teknik kimia), Nafis (teknik informatika), Misbach serta Ivo (sistem informasi). Dan tentunya kini aku berkenalan dengan staf-staf muda Kominfo yang sangat energik dan penuh ide.
Bekerja freelance mulai membuatku tertarik. Ketika ada lowongan sebagai maintenance website, aku pun mencobanya. Di hari pertama rapat, aku terlambat. Dimarahi? Tentu saja. Tapi aku sangat sadar dengan kesalahanku dan mulai memperbaikinya. Terima kasih kepada Bu Maria Anitya Sari. Beliau telah mengajarkanku bagaimana menjalani kehidupan. Aku tahu bahwa kerja itu ibadah, tapi Bu Maria lebih bisa memberikan gambaran bagaimana seharusnya bekerja itu.
‘Kerja itu tanggung jawab kita kepada Tuhan, bukan kepada manusia. Maka bekerjalah dengan sebaik-baiknya’. Selain itu, Bu Maria juga merupakan sosok pengajar ideal. Sangat bertanggung jawab atas perkuliahan mahasiswanya, memiliki beberapa anak asuh untuk membantu pendidikan mereka, serta bertukar pikiran dengan orang-orang yang ingin memajukan bangsa Indonesia. Contoh nyata yang dapat kusaksikan. Aku pun belajar banyak dengan pengalaman dan proses bertukar pikiran ini.
 Menikmati menjadi mahasiswa telah kujalani selama empat tahun terakhir. Kini saatnya berkontribusi dan melakukan aksi nyata untuk bangsa Indonesia. Terkadang aku berpikir bahwa apa yang telah aku dapat dan proses yang telah kujalani semata-mata bukan hanya untuk diri sendiri tapi untuk berbagi. Mungkin bukan hanya aku yang berpikiran seperti ini, tapi berapa orang yang telah melakukan aksi nyata sebagai buah pemikirannya? Indonesia negara yang besar, jadi butuh banyak orang untuk mulai membangkitkan kejayaannya kembali. Semoga tiap pribadi dari kita bisa sadar dan mulai bertindak, tidak terkecuali aku.