Minggu, 11 Januari 2015

Wonderfull Indonesia



1 Januari 2015. Di penghujung tahun 2014 Pakdheku meninggal dunia.  Tanggal 1 Januari 2015 merupakan peringatan tujuh harinya. Aku dan keluarga mengunjungi rumah Pakdheku. Kami datang di sore hari tanggal 31 Desember 2014. Tak ada perayaan malam tahun baru hari itu. Yang ada hanya doa khusus yang dipanjatkan untuk Pakdheku.
Suara adzan Shubuh menggema. Menyeruak membuyarkan keheningan malam pekat yang mulai memudar. Aku terbangun, mandi dan sholat Shubuh di musholla bambu pribadi, sendirian. Tak lama, anggota keluarga yang lain mulai bangun. Pagi itu salah satu adik sepupuku berkata,” Mbak, ayo kita bereskan semua yang ada di sini terus pergi.”
“Kemana?” tanyaku memastikan. Sebenarnya aku ingin pergi ke bukit belakang rumah. Aku pernah ke sana, sekali. Itu pun ketika aku masih kelas dua sekolah dasar. Tak sampai puncak pula.
“Bukit belakang rumah, kolam renang yang baru dibuka, atau kemana aja lah. Yang penting jalan-jalan. Aku pengen refreshing,” jawabnya menggebu-gebu. Apa di pondok pesantren sebegitu stressnya hingga adik sepupuku ini ingin sekali keluar jalan-jalan? Entahlah.
“Ok, kamu dan yang lain menyapu halaman rumah, aku masak sarapan. Kita pergi ke bukit belakang rumah,” ucapku mantap.
“Ok,” jawabnya singkat dan cepat. Sedikit kaget karena aku tak menerima bantahan dari instruksiku. Kami melaksanakan tugas kami masing-masing. Adik-adikku menyapu halaman rumah yang cukup luas dan aku memasak.
Waktu menunjukkan pukul enam pagi saat semua pekerjaan beres dan kami sudah sarapan. Menunggu beberapa saudara yang masih mandi dan berdandan. Sekitar pukul setengah tujuh pagi kami memulai perjalanan kami. Hanya beberapa ratus meter ke belakang rumah.
Kukira jalanan yang kami lalui tak perlu berbelok-belok, lurus saja. Nyatanya perkiraanku meleset. Sepanjang jalan tak beraspal ini kami berkali-kali berbelok, bahkan lewat di gang rumah orang. Dan akhirnya sampailah kami di bukit itu. Bukit yang mengemban nilai sejarah, keindahan, dan kehidupan. Di sambut pula dengan kicauan burung dari atas bukit. Seakan memanggil dan menunggu kedatangan kami.

 Bukit Kapur

Pertama kali melihat kawasan ini aku merasa takjub sekaligus miris. Bukit kapur nan indah terlampau mencengangkan. Namun terlihat dua alat berat pengeruk modern bertengger manis di sana. Itu yang kumaksud “bukit yang mengemban keindahan dan kehidupan”. Keindahan musti lenyap karena kehidupan, atau kehidupan yang tak kan berlangsung demi mempertahankan keindahan.
Hari masih pagi, tak banyak penambang kapur yang bekerja di ladang kapurnya. Kami asik menikmati pemandangan di sini. Berkali-kali menggumam “Subhanallah” saking indahnya. Pemandangan aslinya lebih menakjubkan daripada hasil jepretan kamera.

Tampak Awal Bukit Kapur

 Pemandangan di Bukit Kapur

 Sebagian Bukit Kapur Sudah Tereksplor

Pemandangan di Bukit Kapur

Pemandangan di atas sedikit mengingatkanku pada buku sejarah, bab kerajaan di Indonesia. Dimana tempat prasasti atau benda berharga lainnya ditemukan. Atau seperti pemandangan penemuan kota peradaban yang hilang. Seperti adanya sisa reruntuhan atau bangunan yang berbentuk balok. Hampir mirip menurutku.

 Gua di Bukit Kapur

Kami tidak berani masuk. Di mulut gua ini saja terdapat semak belukar yang tinggi pertanda sudah lama tak pernah dilalui manusia. Konon katanya gua ini merupakan tempat penyimpanan senjata perang pada masa kedudukan Belanda diteruskan penjajahan Jepang. Di depan gua ini dulunya terdapat meriam yang cukup besar. Penemuan granat di sekitar daerah ini juga bukan hal yang asing lagi di masa lalu. Meriam sudah tidak ada lagi di sini.
Kami hanya menjelajah bukit kapur bagian selatan. Bentangan bukit kapur ini masih panjang ke utara. Ada yang bilang kalau di bukit sebelah utara terdapat gua juga. Namun di dalamnya terdapat kamar-kamar sebagai tempat peristirahatan.
Gua dan barang-barang peninggalan sejarah tak terawat di sini. Siapa yang menjamin bahwa gua-gua dan bukit kapur ini akan tetap ada selama eksplorasi kapur masih gencar dilakukan? Kebutuhan akan kapur dan kehidupan manusia dengan perlahan bisa menghilangkan peninggalan sejarah.


Tanah di Bukit Kapur

Walaupun bukit kapur ini terdiri dari kapur namun masih bisa ditumbuhi rerumputan dan pohon. Aku pernah melihat tambang kapur di layar kaca dan tak kujumpai tanaman yang tumbuh di sana. Jadi agak kaget ketika di sini kapur dan tumbuhan hidup berdampingan dengan sangat akurnya.

 Pemandangan Dari Atas

Sekilas hasil jepretan di atas sederhana saja. Namun ini merupakan salah satu tantangan untuk orang penyuka fotografi. Aku memotret pemandangan ini benar-benar dari atas bukit yang cukup tinggi dan curam. Agak ngeri.

 Tebing Curam, Tantangan Pertama

Ini merupakan awal dari tantangan yang akan kami hadapi. Kami berenam, perempuan, hanya bermodalkan tekad dan rasa ingin tahu, memanjat tebing dengan sudut kemiringan hampir sembilan puluh derajat, tanpa pengalaman dan peralatan keselamatan, mengenakan rok pula. Satu per satu dari kami akhirnya berhasil melewati tantangan pertama ini.

Pemandangan Setelah Melewati Tantangan Pertama

 Kapur Seperti Salju yang Belum Meleleh Sempurna

Kalau dilihat dari jauh, warna putih kapur yang bermunculan di permukaan tanah mengingatkanku pada lelehan es di atas gunung yang belum mencair sempurna. Seperti di pegunungan Alpen mungkin.

 Pemandangan Seperti di Pegunungan Alpen

 Pemandangan dari Atas

Sebelum mencapai ini, kami melewati tantangan kedua. Hampir mirip tantangan pertama namun lebih tinggi.


Terlihat Laut dari Atas Bukit

Sayang kamera tidak bisa mengabadikan dengan sempurna. Di ujung sana sebenarnya bukan sepenuhnya langit. Sebagian dari itu adalah laut yang tampak dari kejauhan.


Cawan Alam

 Rumah Penduduk


Menuju Puncak Terakhir



 Pemandangan Dari Puncak Bukit


Seperti Terumbu Karang di Daratan

Pengambilan Bongkahan Kapur

Aku baru tahu kalau pengambilan kapur adalah seperti gambar di atas. Aku kira pengambilan kapur itu dikeruk kapurnya, dihaluskan, baru dicetak. Ternyata tidak. Bongkahan kapur dicetak langsung dari bukitnya. Mungkin hampir sama dengan pengambilan batu marmer.


Objek yang Ditemui Saat Akan Pulang

 Pemandangan Saat Pulang

 Hewan Ternak Di Atas Bukit

Sempat heran juga bagaimana para kambing ini mencapai puncak bukit? Bukankah jalan menuju ke sini cukup curam dan menguji adrenalin? Apakah para kambing ini sudah cukup lihai dalam hal panjat-memanjat? Tebing securam itu? I don’t think so. Dan seperti dugaanku, ada jalan alternatif lain tanpa harus melalui tantangan-tantangan tadi. Tentu saja. Ada jalan yang lebih landai. Namun jaraknya akan sangat jauh dari rumah kami. Jadi ingat waktu rekreasi kelas dua SMA. Sore hari sesampainya di vila, aku melihat puncak bukit dari vila kami. Iseng aku berkata ingin mencapai bukit itu. Tapi tentu saja semua hanya menanggapinya sebagai gurauan. Mendaki bukit? Tidak ada dalam planning. Tapi siapa sangka, keesokan paginya sebagian temanku jalan-jalan ke pasar dekat vila. Aku tidak ikut karena sibuk memasak sarapan dengan yang lain. Saat teman-temanku tiba di vila, aku juga ingin jalan-jalan ke pasar. Saat kami sedang berjalan menuju pasar, salah seorang dari temanku menyarankan agar naik bukit saja. Toh tadi ada sebagian yang sudah ke pasar, untuk apa ke sana lagi. Ok, kami setuju.
Awalnya kami hanya naik di lereng pertama. Lama kelamaan kami penasaran dan sampailah di atas bukit, dengan perjuangan keras tentunya sebab kami tidak melalui jalan yang semestinya. Saat tiba di atas salah satu dari kami menasehati agar jangan terlalu capek, dikhawatirkan dehidrasi. Tentu saja tak ada satu pun diantara kami yang membawa minum, menuju atas bukit ini tidak termasuk dalam planning. Dan saat pulang dari mendaki bukit itu, kami menemukan jalan lain untuk turun. Ternyata ada turunan bertangga yang sangat mudah diakses. Namun jarak antara kaki bukit saat naik dan turun sangat jauh. Jadilah kami berjalan lama, berfoto di tengah jalan, dan saat tiba di vila air mati.
Ok, kembali ke perjalanan bukit kapur. Selain jauh, jalan alternatif ini cukup beresiko karena harus melewati jalan diantara tebing yang bisa sewaktu-waktu roboh. Tidak mau mengambil resiko, kami pun pulang melalui jalan sebelumnya. 


 Menuruni Tebing

Jalan yang kami lalui saat berangkat dan pulang sama, begitu pula dengan tantangannya. Kami akan turun dari tebing ini. Seperti akan meluncur ke mulut jurang. Apa kalian pikir kami bercanda? Tentu saja tidak. Kami benar-benar turun, mengenakan rok panjang yang serba ribet.

 Melewati Tantangan

 Gerbang Pulang

Batu yang timbul tinggi ini laksana pintu gerbang atau gapura di kerajaan Indonesia jaman dulu. Condong dan melengkung ke dalam. Kami beristirahat sebentar di sekitar sini.


Perjalanan Pulang

Kami berada di kaki bukit kapur. Tingginya bukit ini menandakan bahwa tubuh kami sangat kecil jika disandingkan dengan ciptaan Allah yang lebih besar.


Jalan Berliku dan Menurun

Setelah melalui jalan ini, kami tidak serta merta meninggalkan bukit kapur. Karena setelahnya kami disambut dengan pemandangan kaki bukit kapur yang lain.
 Jembatan Batu

Gambar dia atas seperti jembatan dari batu. Kanan dan kiri jembatan ini merupakan ladang kapur bagi masyarakat. Mereka mengikis sedikit demi sedikit kapur yang ada di bukit ini untuk menyambung hidup.


Bongkahan Kapur yang Dieskplorasi


Jalanan Pulang

Perjalanan kami usai. Tak terasa sudah tiga jam kami menjelajah “bukit di belakang rumah”. Pemandanga menakjubkan hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah. Namun perjalanan menuju bukit ini menurutku cukup berbahaya untuk umum mengingat banyaknya jurang-jurang curam dan tanpa fasilitas serta akses yang aman untuk mencapai puncaknya.
Setibanya di rumah bukannya istirahat tapi kami malah disuruh ke pasar untuk berbelanja. Motor dipakai semua. Meskipun jarak pasar dengan rumah hanya berjarak beberapa ratus meter saja, tapi dengan kondisi kami yang baru saja menguras tenaga habis-habisan, perjalanan ke pasar akan sangat memberatkan. Alhamdulillah kami disambut dokar yang melintas tepat di depan rumah. Kami pun ke pasar menumpang dokar. Rencana ingin makan bakso rujak di pasar kandas ketika si penjual menginformasikan bahwa dagangannya sudah tandas. Akhirnya kami membeli martabak dan dimakan bersama-sama sesampainya di rumah.
Perjalanan selesai, meskipun hanya sehari (aku hanya diberi libur sehari dari kantor, hanya di tanggal 1 Januari 2015) tapi terasa sangat menyenangkan. Aku tiba di rumah tengah malam dan esok paginya harus masuk kerja. Yang bisa dilakukan hanya mensyukuri yang ada dan menargetkan apa yang ingin dicapai kedepannya. Bismillah ^^.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar