Minggu, 17 Oktober 2010

Tak Terduga

Ketika itu, hari pengumuman SNM PTN tahun 2009. aku mengayuh sepedaku dengan santai. Ku mencari seseorang yang menjajakan surat kabar di pagi hari yang biasanya kutemui di kala aku masih duduk di bangku SMA. Dua puluh menit berlalu, dan tak kunjung ku temui loper koran yang biasanya keluyuran di tepi jalan.
Akhirnya kuputuskan untuk membeli surat kabar yang memmuat pengumuman hasil SNM PTN di sebuah took kecil di sisi jalan. “Mbak, beli korannya satu..” ujarku kepada si penjual.
“Oh, iya dek..” sahutnya.
“Berapa satu mbak..?” tanyaku selanjutnya.
“Tiga ribu.” jawab si penjual Koran sembari menata dagangannya.
“Ini mbak. Terima kasih..” akupun menyerahkan tiga lembar uang seribu dan bergegas mengayuh sepedaku dan kembali pulang.
Aku tahu bahwa sangat tidak mungkin aku diterima di salah satu perguruan tinggi ternama. Melihat kenyataan yang ada bahwa banyak temanku yang mengikuti les, baik privat maupun di lembaga bimbingan belajar, tidak dapat menembus suatu gedung yang bernama perguruan tinggi negeri. Apalagi hanya aku yang hanya mengandalkan hasil belajar buku SNM PTN yang aku beli di perempatan jalan. Jika dibandingkan dengan pengorbanan dan usaha teman-temanku, sangatlah kurang. Aku tidak menyalahkan teman-temanku yang menganggap bahwa aku tak akan bisa mewujudkan keinginanku itu.
Sehari sebelum pengumuman itu, tepat ketika aku menunaikan sholat dhuha, kakak laki-lakiku menanyakan padaku tentang rencanaku masuk ke perguruan tinggi.
“Kalo kamu nggak diterima di perguruan tinggi negeri gimana...?? Apa kamu mau daftar ke perguruan tinggi swasta...??” tanya kakakku.
“Nggak.. ” jawabku singkat.
“Terus...???” tanyanya kemudian.
“Ya…kerja. Aku mau nyoba SNM PTN tahun depan..” jawabku polos.
“Ok, kalo gitu, nanti kucarikan pekerjaan. Teman-temanku banyak yang mempunyai bisnis.” lanjut kakakku bersemangat.
Aku hanya diam waktu itu. Karena aku juga merasa sangat tidak mungkin dapat menembus perguruan tinggi negeri yang kini semakin menggila peminatnya.
Nah, ketika aku membuka koran berisi nomor-nomor yang lulus SNM PTN, aku semakin gugup. Aku membuka lembaran-lembaran surat kabar dengan tak beraturan. Karena begitu bingung, akhirnya kuputuskan untuk mengambil nomor SNM PTN ku. Sesegera mungkin aku mencari nonmorku dan ternyata…
“Aku diterima…” seruku dengan agak girang.
“Dimana...” sahut ibuku.
“Emm... gak tahu. Sebentar, aku ambil dulu buku SNM PTN ku. Memastikan kode prodi yang menerimaku.” ujarku.
Aku berkata dalam hati, aku lolos SNM PTN itu adalah hal yang sangat luar biasa. Dan aku yakin bahwa aku diterima di pilihan kedua. Namun pada kenyataannya aku harus menahan tangisku karena dua hal. Pertama aku diterima di pilihan pertamaku. Dan yang kedua, di saat yang bersamaan aku harus merelakannya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar